Mengenai Saya

Foto saya
Eka Sari.... Nama asliku yang diberikan oleh bibiku tercinta pada tanggal 13 September 1990. Lahir dalam keluarga yang sangat sederhana dan bahagia dengan dua orang saudara yang sangat mecintaiku... Ekot... Panggilan sayang dari sorang sahabat karibku yang selalu mengisi hari-hariku baik dalam suka maupun dukaku,,,Love you soulmate q... K43_g3ulis.... Nama sampingan abdi, seneng banget dipanggil K43, rasanya K43 tue adalah wujud reinkarnasinya eka yang dulu ada g3ulis na... karena K43 mah seneg banget ma urang Bandung dengan logat sunda na itu... Tapi ampe sekarang K43 belum-belum bisa juga bahasa Sunda na.. belum ketemu guru Privat yang pas..

Rabu, 17 Juni 2009

TUGAS ETIKA PROFESI DAN HUKUM KESEHATAN
“TENTANG KASUS PRITA MULYASARI DENGAN RUMAH SAKIT OMNI INTERNASIONAL DILIHAT DARI SEGI ASPEK HUKUM”


D
I
S
U
S
U
N

Oleh
Nama
:
Erlisa
Kelas
:
2B
Nim
:
08.22.040
Jurusan
:
D3 MPRS




SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ABDI NUSA (STIKES)
KOTA PANGKALPINANG
2008/2009
Kasus Prita dan UU ITE
UPDATE: Sayang sekali sumber rujukan email Prita di blog ini sudah mengalami proses editing dari yang semula saya tautkan. Sekarang emailnya lebih “halus”, nama-nama disamarkan, karakter unik seperti huruf besar semua pada kata-kata “pembohong besar” juga sudah dibuat huruf kecil. Saya tidak tahu motifnya apa. Mungkin takut terjerat pasal UU ITE juga :)
Saya tertarik untuk membahas kasus Prita karena kelihatannya masih banyak kalangan bloger yang menentang penahanan atas Prita tanpa terlebih dahulu membaca bagaimana bunyi email yang dikirimkan Prita ke milis termaksud.
Ada beberapa poin terkait kasus ini yang perlu kita cermati bersama.
1. Pasal mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik (defamation, tort) bukan hanya ada di UU ITE, melainkan ada dalam hampir semua undang-undang hukum positif di banyak negara, meski kebanyakan masuk ranah hukum perdata.
2. Dalam Islam ada anjuran “tinggalkanlah hal yang meragukan”, mungkin dalam hukum positif ada juga terminologi ini, saya belum memeriksa. Dalam hal ini kita selalu bersengketa soal kriteria mengenai pencemaran nama baik, penghinaan, dan lain-lain. Percayalah, kita tidak akan pernah menemukan kriterianya sampai kapanpun! Karena meragukan itulah justru dibuat perangkat hukum/larangan yang bersifat mengikat sebagai rambu-rambu agar kita berhati-hati.
Contohnya begini:
Frasa “Dasar hitam!” yang ditujukan buat kita-kita, ras Asia, memiliki nilai rasa yang berbeda apabila ditujukan buat kaum kulit hitam Afrika-Amerika. Itulah kenapa frasa seperti itu sebaiknya dihindari, bukan justru dipakai dengan alasan “kriteria penghinaan tidak jelas”.
3. Tidak ada seorang wargapun yang memiliki hak untuk menghakimi pihak lain tanpa melalui keputusan pengadilan.
4. Kritik sebaiknya ditujukan kepada praktik/tindakan, bukan individu-individu. Dan kritik sebaiknya bertujuan agar kejadian serupa tidak terjadi pada orang lain, bukan menebarkan kebencian atau aroma “balas dendam”.
5. Apakah betul Prita tidak melanggar UU ITE? Saya sendiri tidak berani mengatakan Prita bersalah atau tidak. Jika saya baca emailnya, ada beberapa poin yang sepertinya memang berpotensi terjerat delik dalam UU ITE. Berikut ini di antaranya:
Bila anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan RS dan title International karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat dan suntikan.
Kata-kata “uji-coba pasien”, “penjualan obat dan suntikan” adalah tuduhan yang belum teruji di pengadilan. Buat sebuah rumah sakit, tuduhan seperti ini tentu amat berat konsekuensinya. Kita mesti berhati-hati menggunakan kata-kata ini.
…makanya saya sebut Manajemen Omni PEMBOHONG BESAR semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.
Frasa “pembohong besar” dengan penggunaan huruf kapital menurut hemat saya bersifat menyerang dan menghakimi. Apalagi di situ disebut “semua”. Apakah betul semua staf manajemen rumah sakit termaksud pembohong besar? Tidak ada satu pun orang (bahkan bila benar dia seorang pembohong) yang suka disebut pembohong :) Kecuali memang sudah diputuskan pengadilan.
Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah FIKTIF…
Kata “ditipu” atau “fiktif” tentu butuh pengujian di pengadilan. Jika kita mengatakan hal tersebut, kita sebarluaskan, maka kita berpotensi melakukan tuduhan tanpa proses peradilan. Dan ini jelas melanggar hukum.
…mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin tapi RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.
Riskan, riskan untuk diucapkan.
…namun saya dan suami saya terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka…
Sekali lagi, menyerang dan menuduh.
…tapi apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dpercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.
Menuduh juga. Betulkah RS tersebut mempermainkan nyawa manusia? Butuh pengujian yang teliti di pengadilan.
Lalu, yang bagaimanakah yang dimaksud dengan kritik yang santun? Jika tujuannya adalah agar kejadian serupa tidak terulang lagi, maka penyebutan RS, atau nama-nama sebaiknya disamarkan. Apalagi bila kasusnya berat. Namun, kita bisa memberikan informasinya secara pribadi (japri) bila ada yang menginginkan informasi lebih lanjut. Jika saja email Prita cukup menjelaskan fakta-fakta yang dialami, tanpa perlu memberikan penilaian (judgement) saya rasa emailnya itu akan menjadi “aman”.
Saya tidak mengatakan bahwa posting saya berikut ini adalah jenis kritik yang “sempurna” tapi mungkin bisa menjadi contoh. Setelah saya tulis itu, banyak bloger/pembaca yang mengirimkan email menanyakan rumah sakitnya atau dokternya.
Semoga kasus ini menjadi pelajaran bagi kita agar lebih berhati-hati dalam melaksanakan aktivitas ngeblog, bermilis, atau media-media publik lainnya.




Pelajaran dari Kasus Prita

Konflik merupakan peristiwa yang biasa terjadi di setiap organisasi atau perorangan. Konflik muncul karena organisasi terdiri atas sekelompok orang yang berinteraksi secara internal dan eksternal. Sementara itu, bagi perorangan, konflik muncul karena orang harus berinteraksi dengan orang lain atau dengan organisasi. Di pihak lain, orang-seorang atau organisasi perlu membangun dan menjaga kredibilitas dan reputasi sebagai bagian penting dalam interaksi dengan pihak lain. Bagaimana mengelola konflik, memenangi persaingan dengan tetap menjaga reputasi, membutuhkan kiat tersendiri. Beberapa kasus cenderung mengambil satu sisi saja, yakni memenangi konflik dengan mengabaikan kredibilitas dan reputasi.
Konflik pada dasarnya adalah pertentangan kebutuhan, perbedaan nilai, atau tarik-menarik kepentingan yang bisa bersifat kelompok atau individual. Dalam bidang politik, konflik yang tajam bisa mewujud dalam bentuk pembangkangan, revolusi, dan perang. Kepentingan yang berbeda di dalam tubuh partai politik bisa menimbulkan keretakan politik, perpecahan internal, dan pembangkangan kader politik atau kelompok kader politik. Pada era pemilihan presiden seperti sekarang, kita menyaksikan perbedaan kepentingan yang ditandai dengan pembangkangan atau perselingkuhan politik. Semua yang terjadi telah mengabaikan kredibilitas dan reputasi, baik untuk individu tersebut maupun partai politiknya.
Dalam konteks sosial, untuk memenangi konflik, banyak terjadi penggunaan kekerasan dan pemanfaatan kekuasaan untuk memenangi konflik tersebut. Dalam beberapa hal telah terjadi pemanfaatan kekuasaan, penaklukan hukum dan keadilan, serta pelayanan publik untuk memenangi sebuah konflik. Sama dengan yang terjadi di bidang politik, pada umumnya semua pihak yang terlibat dalam konflik mengabaikan aspek kredibilitas dan reputasi.
Konflik sering kali berlangsung tidak secara independen. Sebuah konflik, apa pun sifatnya, bisa menyeret orang lain atau pihak lain serta dampak yang ditimbulkan akan meluas dan melibatkan orang-seorang yang tidak terkait sama sekali tapi memiliki kepentingan yang sama. Bahkan kelompok ini melibatkan diri secara emosi dengan salah satu pihak dalam konflik tersebut. Publikasi konflik yang luas malah mengakibatkan eskalasi dan akan membangun polarisasi pendapat, kepentingan, nilai, dan emosi senasib atau karena perasaan "me too".
Peran media
Dalam beberapa kasus, benturan kepentingan, perbedaan nilai, perbedaan pandangan, dan diskomunikasi makin memperuncing konflik. Tak bisa dimungkiri bahwa dalam situasi seperti itu, medium paling ampuh dalam penyebaran informasi tentang konflik adalah media. Bagi media, konflik adalah ramuan utama untuk membuat berita. Syukur kalau konflik tersebut memiliki sisi-sisi emosi, kemanusiaan, dan kontroversi serta melibatkan emosi orang banyak!
Media cetak, karena sifatnya yang harus terbit secara teratur pada waktu tertentu, memiliki kelebihan waktu untuk bisa mengumpulkan informasi sebanyak mungkin, kemudian mempublikasikan informasi tentang konflik tersebut dalam bentuk lebih investigatif, lebih komprehensif dengan berbagai sisi. Sementara itu, radio dan televisi, dengan karakternya yang bisa menampilkan stop press atau breaking news kapan saja, memanfaatkan waktu untuk sesegera mungkin menyebarkan informasi, terutama dengan ramuan konflik yang kontroversial serta mengaduk-aduk emosi publik.
Seiring dengan perkembangan pesat teknologi informasi, media baru, seperti SMS, e-mail, blog, Facebook, Twitter, dan Yahoo Messenger, ikut pula meramaikan penyebaran informasi tentang konflik. Media jenis ini menyebarkan informasi jauh lebih cepat dan tanpa batas melebihi media cetak, radio, dan televisi. Kasus Manohara Odelia Pinot dengan cepat bisa dipantau dan diikuti di seluruh dunia pada detik yang sama dengan ketika informasi tersebut ditulis. Kasus pendudukan hotel di Mumbai, India, menyebar cepat melalui Twitter.
Konflik memang informasi yang menggiurkan untuk disebar. Konflik juga sangat terbuka untuk dibumbui dengan berbagai informasi spekulatif, gosip, hingga yang mengada-ada. Penyebar informasi konflik bahkan merasa dialah yang terdepan menyebarkan informasi tentang konflik tersebut.

Proses hukum
Sesungguhnya sebagian besar pihak yang terlibat dalam konflik paham bahwa solusi terbaik keluar dari konflik adalah win-win dibanding dua pilihan lain, yaitu win-lose, apalagi lose-lose. Tapi desakan nafsu untuk memenangi konflik sering kali lebih kuat mengalahkan kematangan kalkulasi untuk mengatasi konflik dengan jalan keluar win-win. Lebih jauh, desakan nafsu memenangi konflik meninabobokan pihak yang terlibat dalam konflik dengan mengabaikan kredibilitas dan reputasi.
Beberapa faktor mendukung nafsu untuk memenangi konflik dengan cara menang atau win-lose. Salah satu alasan mengambil langkah ini adalah anggapan bahwa menang dalam konflik berarti menang segalanya karena berhasil menjaga, mempertahankan, atau menguasai kepentingan yang diperjuangkan. Untuk mencapai tekad itu, berbagai manuver harus ditempuh untuk memenangi konflik, termasuk menghalalkan penggunaan kekerasan, penistaan etika, pemanfaatan kekuasaan, dan pengingkaran atau pembelokan hukum demi kemenangan.
Kemenangan secara hukum memang penting karena bisa jadi landasan legalistik. Namun, orang melupakan bahwa ada aspek penting lain yang harus mereka perhitungkan dalam mencari jalan keluar dari konflik: menjaga kredibilitas dan reputasi. Pemaksaan untuk menang, penistaan etika, dan pembelokan hukum merupakan hal-hal yang merusak kredibilitas dan reputasi. Siapa pun bisa mengabaikan dan meremehkan pentingnya menjaga kredibilitas dan reputasi. Tapi dunia sudah berubah dan makin menyadari bahwa kredibilitas dan reputasi merupakan bagian integral dalam berinteraksi dengan kelompok lain.
Kemenangan secara hukum tidak berarti terjaganya kredibilitas dan reputasi. Apalagi jika hukum dibelokkan untuk menang. Para penegak hukum tidak akan pernah mampu menegakkan hukum jika mereka sendiri melanggarnya! Publik kadang memiliki ingatan pendek tentang konflik karena banyaknya kasus yang muncul. Mereka segera lupa berbagai tindakan tanpa etika yang dilakukan sebuah institusi atau perorangan akibat terlalu banyaknya informasi yang harus mereka terima. Tapi harus diingat bahwa catatan perilaku organisasi atau perseorangan tetap tersimpan. Bahkan, dengan kemajuan teknologi informasi, seluruh catatan tentang perilaku dan etika lembaga atau perorangan tetap tersedia untuk dikutip di masa depan. Ini memungkinkan penggalian data di masa datang tentang orang-seorang atau suatu lembaga. Dan ini akan menjadi rekam jejak penting di masa depan tentang kredibilitas dan reputasi.
Konflik merupakan peristiwa yang biasa terjadi di setiap organisasi atau perorangan. Konflik muncul karena organisasi terdiri atas sekelompok orang yang berinteraksi secara internal dan eksternal. Sementara itu, bagi perorangan, konflik muncul karena orang harus berinteraksi dengan orang lain atau dengan organisasi. Di pihak lain, orang-seorang atau organisasi perlu membangun dan menjaga kredibilitas dan reputasi sebagai bagian penting dalam interaksi dengan pihak lain. Bagaimana mengelola konflik, memenangi persaingan dengan tetap menjaga reputasi, membutuhkan kiat tersendiri. Beberapa kasus cenderung mengambil satu sisi saja, yakni memenangi konflik dengan mengabaikan kredibilitas dan reputasi.
Konflik pada dasarnya adalah pertentangan kebutuhan, perbedaan nilai, atau tarik-menarik kepentingan yang bisa bersifat kelompok atau individual. Dalam bidang politik, konflik yang tajam bisa mewujud dalam bentuk pembangkangan, revolusi, dan perang. Kepentingan yang berbeda di dalam tubuh partai politik bisa menimbulkan keretakan politik, perpecahan internal, dan pembangkangan kader politik atau kelompok kader politik. Pada era pemilihan presiden seperti sekarang, kita menyaksikan perbedaan kepentingan yang ditandai dengan pembangkangan atau perselingkuhan politik. Semua yang terjadi telah mengabaikan kredibilitas dan reputasi, baik untuk individu tersebut maupun partai politiknya.
Dalam konteks sosial, untuk memenangi konflik, banyak terjadi penggunaan kekerasan dan pemanfaatan kekuasaan untuk memenangi konflik tersebut. Dalam beberapa hal telah terjadi pemanfaatan kekuasaan, penaklukan hukum dan keadilan, serta pelayanan publik untuk memenangi sebuah konflik. Sama dengan yang terjadi di bidang politik, pada umumnya semua pihak yang terlibat dalam konflik mengabaikan aspek kredibilitas dan reputasi.
Konflik sering kali berlangsung tidak secara independen. Sebuah konflik, apa pun sifatnya, bisa menyeret orang lain atau pihak lain serta dampak yang ditimbulkan akan meluas dan melibatkan orang-seorang yang tidak terkait sama sekali tapi memiliki kepentingan yang sama. Bahkan kelompok ini melibatkan diri secara emosi dengan salah satu pihak dalam konflik tersebut. Publikasi konflik yang luas malah mengakibatkan eskalasi dan akan membangun polarisasi pendapat, kepentingan, nilai, dan emosi senasib atau karena perasaan "me too".

KESIMPULAN
1. Bila anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan RS dan title International karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat dan suntikan.
2. Pelajaran yang dapat kita ambil dari kasus Prita ini bagi kita agar lebih berhati-hati dalam melaksanakan aktivitas ngeblog, bermilis, atau media-media publik lainnya.